Salah satu kelemahan film Indonesia yang
diadaptasi dari novel, adalah kurangnya memperhatikan detail.
Kejanggalan fatal scene film 5 cm juga masih berkutat pada terabaikannya
detail. Begitu kita keluar dari gedung bioskop, barulah kita menyadari
ada adegan-adegan film atau scene yang nyata-nyata tidak masuk akal!
Para kru film tersebut bisa saja
berdalih, terabaikannya detail di film 5 cm lantaran tidak mungkin
menuangkan gagasan utama dari sebuah novel 5 cm beratus-ratus halaman
karya Donny Dhirgantoro ke dalam satu setengah hingga dua jam
pertunjukan. Atau bisa juga mereka berkilah, adegan-adegan dari film 5
cm tersebut atau scene telah disunting sedemikian rupa. Dan masih ada
seribu satu alasan yang akan mereka kemukakan menyangkut detail.
Sekurang-kurangnya saya mencatat 3
(tiga) kejanggalan fatal scene seusai menonton film 5 cm yang
disutradarai Rizal Mantovani, dengan para pemeran: Herjunot Ali
(Zafran), Raline Shah (Riani), Fedi Nuril (Genta), Igor Saykoji (Ian)
dan Denny Sumargo (Arial) dan Pevita Perace (Dinda) sebagai berikut:
Pertama, adegan Ian
berlari-lari mengejar ketinggalan kereta. Terkesan lebay getu. Soalnya
kalau kita mengejar kereta di stasiun tidak perlu demi solidaritas
teman. Masuk dari pintu gerbong belakang manapun –walau si kereta telah
berjalan pelan-pelan– niscaya nanti akan ketemu temannya. Masak ada
beberapa gerbong melintas, si Ian musti mengejar teman-temanya yang
menunggu harap-harap cemas yang ada di gerbong depan? Ia pun bisa
meloncat di pintu belakang gerbong di mana teman-temannya berada… :)
Kedua, tertimpa reruntuhan
bebatuan saat mendaki jelang puncak gunung. Ini adegan film yang tidak
masuk akal. Melecehkan korps pencinta alam manapun. Padahal di scene
film 5 cm sebelumnya, tertayang rombongan pendaki gunung lain yang juga
tengah menuju puncak di depan rombongan Genta. Logikanya pula, di
belakang rombongan Genta masih ada rombongan pendaki lainnya.
Sekonyong-konyong, Genta dan kawan-kawan mendapat musibah terkena
longsoran bebatuan. Sampai Ian pingsan, dan teman-temannya
mengkhawatirkan keselamatan diri dia.
Aneh bin ajaib. Tidak ada satu pun
rombongan pendaki gunung lain yang ikut menolongnya. Seolah-olah musibah
tersebut terpusat pada diri mereka. Dengan kata lain, mereka berenam
saja yang naik ke puncak gunung. Di belahan dunia manapun, korps
pencinta alam umumnya, dan pendaki gunung khususnya terkenal dengan
solidaritas pertemanan yang tinggi. Mereka akan bahu-membahu menolong
sesama pendaki gunung yang mengalami musibah. Tidak peduli latar
belakangnya.
Di film 5 cm, tidak mencuat spirit
solidaritas antar sesama rombongan pendaki gunung. Kecuali adegan
tatkala salah satu rombongan Genta meminta air, dan diberi satu botol
minuman oleh rombongan lainnya. Soal inipun sesungguhnya juga janggal,
mengingat biasanya rombongan pendaki gunung akan bertanya lebih dahulu
sumber air terdekat yang ada.
Ketiga, orasi di puncak gunung
Semeru atau Mahameru. Tatkala rombongan Genta mencapai puncak pada Hari
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus, mereka menancapkan bendera
dan melakukan upacara. Tak tahu asal muasalnya, sungguh aneh tiba-tiba
sudah banyak pendaki gunung lain yang berkerumum. Terasa ganjil juga,
Genta, Arial, Zafran, Riani, Ian dan Dinda berdiri ekslusif seolah-olah
jadi rombongan utama. Yang lain hanya ikut-ikutan. Mustinya semua
rombongan yang ada bercampur baur. Untuk menunjukkan semangat
kebersamaan, persaudaraan antar sesama dan perasaan senasib
sepenanggungan….
Lebih ajaib lagi, di puncak gunung Genta
dan kawan-kawan berorasi tentang keindahan panorama tanah air. Sembari
mengulang kalimat-kalimat mantra yang sudah diucapkan sebelumnya: “Cuma
kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan
berbuat lebih banyak berbuat dari biasanya, mata yang akan menatap lebih
banyak dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas.
Serta mulut yang akan selalu berdoa….” :)
Penulis skenario film 5 cm mustinya
lebih bisa menjiwai suasana di suatu puncak gunung, dan piawai dalam
mengadaptasi sebuah novel. Melakukan orasi bukanlah cara umum yang
dilakukan para pendaki gunung di belahan dunia manapun. Ketimbang orasi,
jika ingin memaksakan nilai patriotisme dan nasionalime lebih elegan
jika, misalnya, melakukan sujud syukur semuanya atau mencium bendera
merah putih satu per satu dengan keharuan sembari menitikkan air mata
sebagai perlambang kecintaan akan tanah air.
Detail tetaplah detail. Dengan demikian,
dibutuhkan kecermatan dan ketelitian tingkat tinggi dalam pengambilan
gambar agar tidak nampak segi-segi yang janggal secara logika umum.
Riset lebih mendalam adalah kuncinya. Baik pra maupun pasca sebelum film
diedarkan ke khalayak publik. Juga pelibatan banyak keahlian dan
kompetensi orang seputar tema sentral film.
Film-film asing (antara lain produksi
Holywood) bergenre abad-abad lampau, misalnya, pemilihan kostum atau
asesoris yang dipakai para pemeran film diperhatikan dengan saksama. Tak
jarang para kru film mendatangkan sejarawan, arkeolog, psikolog dan
sebagainya untuk dimintai masukannya tentang film yang akan diproduksi.
Pendek kata, detail sangat diperhatikan. Sungguh lucu kan, sebagai
contoh, film berlatar Perang Dunia I para serdadu yang tengah berperang
menggunakan senapan AK-47? :)
****
Secara umum, sebagai tontonan Film 5 cm
cukup baik. Menghibur. Para pemerannya juga memiliki talenta berakting
baik. Pula cukup menjiwai peran yang dibawakan. Raline Shah dan Pevita
Pierce tidak pula hanya jual tampang. Lumayan aktingnya.
Sebagai tuntunan, film dengan ‘side mission‘
mengenalkan keindahan panorama alam Indonesia nan eksotik dan spirit
mencintai tanah air Indonesia patut diapresiasi. Namun perlu
digarisbawahi, mencintai negeri ini bukan sekedar lewat kata-kata
belaka… ia musti diejawantahkan melalui tindakan nyata.
Oya, ada sebuah scene yang saya sendiri
kurang setuju. Hanya lantaran pengalaman dramatis ke puncak Semeru, Ian
yang diperankan Igor Saykoji membatalkan niatnya studi lebih lanjut ke
manca negara. Studi master ke kota Manchester Inggris. Alasannya karena
ia mencintai Indonesia.
Mencintai dan berbakti buat negeri
letaknya pada komitmen di hati. Bukan karena soal studi di dalam negeri
atau luar negeri. Banyak pendiri republik ini, seperti Mohammad Hatta,
Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Tjipto Mangoenkoesoemo, Soetomo dan Soewardi
Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) bersekolah di luar negeri. Namun,
apakah mereka kurang patriotis dan nasionalis? Mereka tetap patriotis
dan nasionalis sejati. Ketika mereka kembali ke Indonesia, jiwa dan raga
mereka ditasbihkan hanya untuk kemajuan dan kejayaan tanah air tercinta
Indonesia.
Para pendiri republik tersebut memiliki
mimpi-mimpi dan keyakinan yang mereka percayai untuk kemajuan tanah
airnya, sebagaimana sebuah dialog dalam film 5 cm, “yang bisa
dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan
keyakinannya adalah mereka hanya tinggal mempercayainya….”
Sumber: http://hiburan.kompasiana.com/film/2013/01/05/kejanggalan-kejanggalan-film-5-cm-521571.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar