ASAL USUL NAMA KOTA MALANG
Nama
Batara Malangkucecwara disebutkan dalam Piagam Kedu (tahun 907) dan
Piagam Singhasari (tahun 908). Diceritakan bahwa para pemegang piagam
adalah pemuja Batara (Dewa) Malangkucecwara, Puteswara (Putikecwara
menurut Piagam Dinoyo), Kutusan, Cilahedecwara dan Tulecwara. Menurut
para ahli diantaranya Bosch, Krom dan Stein Calleneis, nama Batara
tersebut sesungguhnya adalah nama Raja setempat yang telah wafat,
dimakamkan dalam Candi Malangkucecwara yang kemudian dipuja oleh
pengikutnya, hal ini sesuai dengan kultus Dewa – Raja dalam agama Ciwa.
Nama para Batara tersebut sangat dekat dengan nama Kota Malang saat
ini, mengingat nama daerah lain juga berkaitan dengan peninggalan di
daerah tersebut misalnya Desa Badut (Candi Badut), Singosari (Candi
Singosari). Dalam Kitab Pararaton juga diceritakan keeratan hubungan
antara nama tempat saat ini dengan nama tempat di masa lalu misalnya
Palandit (kini Wendit) yang merupakan pusat mandala atau perguruan
agama. Kegiatan agama di Wendit adalah salah satu dari segitiga pusat
kegiatan Kutaraja pada masa Ken Arok (Singosari – Kegenengan – Kidal –
Jago : semuanya berupa candi).
Pusat mandala disebut sebagai panepen (tempat menyepi) salah satunya
disebut Kabalon (Kebalen di masa kini). Letak Kebalen kini yang berada
di tepi sungai Brantas sesuai dengan kisah dalam Pararaton yang menyebut
mandala Kabalon dekat dengan sungai. Disekitar daerah Kebalen – Kuto
Bedah – DAS Brantas banyak dijumpai gua buatan manusia yang hingga kini
masih dipakai sebagai tempat menyepi oleh pengikut mistik dan
kepercayaan. Bukti lain kedekatan nama tempat ini adalah nama daerah
Turyanpada kini Turen, Lulumbang kini Lumbangsari, Warigadya kini Wagir,
Karuman kini Kauman.
Pararaton ditulis pada tahun 1481 atau 250 tahun sesudah masa
Kerajaan Singosari menggunakan bahasa Jawa Pertengahan dan bukan lagi
bahasa Jawa Kuno sehingga diragukan sebagai sumber sejarah yang
menyangkut pemerintahan dan politik. Penulisan Pararaton sudah . Namun
pendekatan yang dipakai para ahli dalam menyelidiki asal usul nama Kota
Malang didasarkan pada asumsi bahwa nama tempat tidak akan jauh berubah
dalam kurun waktu tersebut. Hal ini bisa dibuktikan antara lain dari
nama Kabalon (tempat menyepi) ternyata juga disebutkan dalam Negara
Kertagama. Dalam kitab tersebut dikisahkan bahwa puteri mahkota Hayam
Wuruk yaitu Kusumawardhani (Bhre Lasem) sebelum menggantikan ayahnya
terlebih dahulu menyepi di di Kabalon dekat makam leluhurnya yaitu Ken
Arok atau Rangga Rajasa alias Cri Amurwabumi. Makam Ken Arok tersebut
adalah Candi Kegenengan.
Namun istilah Kabalon hanya dikenal dikalangan bangsawan, hal inilah
yang menyebabkan istilah Kabalon tidak berkembang. Rakyat pada masa itu
tetap menyebut dan mengenal daerah petilasan Malangkucecwara dengan nama
Malang hingga diwariskan pada masa sekarang.
MASA KOLONIAL
Setelah kemunduran Kerajaan Majapahit yang terdesak oleh Kerajaan
Mataram Islam, daerah Malang semakin ditinggalkan bahkan dijauhi karena
kultus Dewa – Raja dan agama Hindu bertentangan dengan ajaran Islam.
Peninggalan peradaban Hindu – Ciwa tidak lagi diperhatikan karena sisa
pengikut Kerajaan Majapahit yang memeluk agama Hindu Ciwa menyingkir ke
daerah Tengger dan keturunannya dikenal sebagai masyarakat Tengger
sekarang.
Kedatangan bangsa kulit putih antara lain Portugis, Belanda dan
Inggris pada akhirnya mengakibatkan kemunduran Kerajaan mataram sehingga
Nusantara jatuh kedalam masa penjajahan. Dalam masa pertengahan
penjajahan menurut Buku History of Java karangan Gubernur Jenderal
Raffles (1812), Malang merupakan daerah perkebunan dibawah Kabupaten
Pasuruan. Malang berkembang pesat setelah ada jalur kereta api dan
dibukanya berbagai perkebunan terutama tebu untuk industri gula. Sampai
saat ini dua pabrik gula peninggalan kolonial masih beroperasi yaitu PG.
Krebet Baru dan PG. Kebon Agung.
MASA KEMERDEKAAN
Pada masa sesudah Proklamasi Kemerdekaan di Malang didirikan
Pemerintah Daerah Sementara dan pada masa Perang Kemerdekaan (Clash I
1947 dan Clash II 1949) daerah Malang menjadi basis perjuangan baik
politis maupun gerilya. Berbagai pasukan antara lain TGP dan pasukan
Hamid Rusdi sangat terkenal dengan kegigihan dan keberaniannya. Salah
satu pertempuran dahsyat dalam mempertahankan Kota Malang yang selalu
dikenang adalah front Jalan Salak (kini Jalan Pahlawan Trip). Pada saat
itu gugur 35 orang anggota Brigade 17 Detasemen I Trip Jawa Timur. Di
bekas lokasi pertempuran tersebut kini didirikan Monumen dan Makam
Pahlawan Trip. Makam Pahlawan yang lain terletak di Jalan Veteran tidak
jauh dari Jalan Pahlawan Trip.
Sumber: http://hadiansyahaktsar.wordpress.com/2010/03/24/sejarah-kota-malang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar