"Nyerah sama realistis itu beda tipis." - Keenan
Diantara keempat film Lebaran yang tayang dalam waktu nyaris bersamaan, Perahu Kertas menjadi pilihan yang paling populer. Selain fakta bahwa film ini beranjak dari novel laris berjudul sama hasil tulisan Dewi Lestari yang telah mengumpulkan basis penggemar yang cukup banyak, faktor Hanung Bramantyo sebagai nahkoda kapal menjadi daya tarik lain. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, nama Hanung sudah cukup menjadi jaminan akan kualitas dari sebuah film, walaupun anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Mendekati hari perilisan, Perahu Kertas kian santer menjadi bahan pembicaraan di jejaring sosial setelah Maudy Ayunda dan Adipati Dolken diumumkan sebagai bintang utama dari film ini. Berbagai pro dan kontra pun bermunculan, umumnya berasal dari para penggemar versi novelnya. Ini tak lagi menjadi sesuatu yang mengherankan.
Memvisualisasikan sebuah novel populer dimana masing-masing pembaca tentunya sudah memiliki imajinasi sendiri tentang bagaimana seharusnya puluhan hingga ratusan ribu kata-kata ini diterjemahkan dalam bentuk media audio visual bukanlah perkara yang mudah. Hal ini telah menjadi rahasia umum. Si sineas mau tidak mau kudu siap menghadapi pujian maupun cacian dari fans garis keras novelnya setelah film beredar. The show must go on. Kita tentu tidak bisa memuaskan semua orang, bukan?
Demi memuaskan para pembaca setia yang tentunya menuntut setiap momen diabadikan dalam bentuk gambar, maka Perahu Kertas pun dipecah menjadi dua bagian. Sebuah keputusan yang sangat berani mengingat ini adalah sebuah film drama. Perahu Kertas
berkisah mengenai persahabatan antara Kugy (Maudy Ayunda) dan Keenan
(Adipati Dolken) yang tidak biasa. Kugy digambarkan sebagai gadis yang
unik nan eksentrik yang menganggap dirinya sebagai agen Neptunus, namun
diberkahi otak yang brilian dengan imajinasi yang luar biasa tinggi.
Perkenalannya dengan Keenan dimulai ketika Kugy mengantar kedua
sahabatnya, Noni (Sylvia Fully R.) dan Eko (Fauzan Smith), menjemput
Keenan yang baru tiba di Bandung ke stasiun. Tidak membutuhkan waktu
yang lama bagi keduanya untuk saling terkoneksi satu sama lain. Segera
saja, Keenan tergabung dalam geng ‘Pura-Pura Ninja’ bentukan Kugy dan
bersedia untuk diangkat sebagai agen Neptunus. Seiring berjalannya
waktu, Kugy dan Keenan menjadi kian dekat. Percikan gelora asmara pun
tak terhindarkan. Hanya saja, masing-masing enggan untuk mengakuinya dan
menutup rapat rahasia ini. Terlebih, Kugy telah memiliki seorang
kekasih yang dipanggilnya Ojos (Dion Wiyoko).
Letupan
konflik muncul saat hadir orang ketiga dalam kehidupan Kugy dan Keenan.
Dia adalah Wanda (Kimberly Ryder), sepupu Noni yang sengaja ‘diimpor’
langsung dari Australia untuk dijodohkan kepada Keenan. Mengetahui hal
ini, Kugy pun mengurungkan niatnya untuk menyerahkan sebuah kotak
rahasia sebagai hadiah ulang tahun Keenan yang isinya baru diketahui
oleh penonton menjelang film berakhir. Tak ingin hatinya semakin
terluka, Kugy absen dari pesta ulang tahun Noni yang digelar di rumah
Wanda. Persahabatan Kugy dan Noni pun retak. Dari sini, percikan api
kian membesar, menjalar kemana-mana, menciptakan friksi dalam skala yang
lebih besar. Saya yang semula telah kehilangan minat terhadap Perahu Kertas
setelah sekitar setengah jam pertama yang kering, bertele-tele, dan
membosankan, dengan segera kembali mengarahkan pandangan ke layar
tatkala Wanda muncul. Bukan, bukan karena kecantikan dia, melainkan
karena grafik konflik mulai menunjukkan tanda-tanda peningkatan dalam
intensitas konflik. Perahu kertas merah yang dilepas oleh Kugy di sungai
pada permulaan film mulai memasuki lekuk-lekuk sungai yang dipenuhi
dengan batu-batu besar dan air yang deras.
Setelah
cukup lama tidak menemukan sebuah film yang mengangkat kisah percintaan
klasik dengan balutan konflik persahabatan yang menarik untuk disimak –
terakhir disuguhi Brokenhearts yang memble – Perahu Kertas
membangkitkan kembali kepercayaan bahwa genre drama romantis masih bisa
diselamatkan. Seusai melewati fase-fase sulit di paruh awal, Perahu Kertas
secara perlahan-lahan mulai membaik seiring dengan semakin
berkembangnya konflik. Terlepas dari pro kontra ihwal pemilihan pemain
yang dianggap kebanyakan fans kurang mewakili imajinasi indah mereka
dalam menggambarkan sosok Kugy dan Keenan, Maudy Ayunda berhasil
menyuguhkan sebuah performa yang apik. Sementara Adipati Dolken, errr...
entahlah, sekalipun mampu menciptakan chemistry dengan Maudy Ayunda,
belum bisa meyakinkan penonton bahwa dia adalah Keenan, bukan Adipati.
Bayang-bayang dari film sebelumnya, 18++ Forever Love dan Malaikat Tanpa Sayap,
masih melekat dan susah terlepaskan. Malahan, Fauzan Smith yang sanggup
bersinar dengan mencuri perhatian penonton di setiap adegannya. Akan
tetapi, siapa sih yang bisa melupakan penampilan singkat namun membekas
di ingatan dari personil 3 Diva, Titi DJ? Semacam penyegaran saat para
aktor muda, selain Maudy dan Fauzan, gagal memberikan penampilan yang
memukau.
Dan, satu
yang paling menonjol dari film in, soundtrack-nya! Diisi dengan deretan
tembang-tembang yang ‘easy listening’ dimana penempatannya dalam
mengiringi sejumlah adegan dalam film terasa pas dan representatif
sehingga perjalanan mengarungi sungai dengan menggunakan perahu kertas
menjadi lebih mengesankan. Sekalipun pada akhirnya nanti Anda tidak
terkesan dengan filmnya, saya cukup yakin Anda tidak akan menampik bahwa
film ini mempunyai soundtrack yang digarap amat baik. Saya jatuh cinta
dengan soundtrack-nya. Andaikata tidak dibekali dengan musik latar dan
lagu-lagu berkualitas ciamik ini, perjalanan Perahu Kertas akan
terseok-seok. Inilah yang menjadi ruh film. Adalah sebuah keputusan yang
tepat memberikan kesempatan kepada departemen soundtrack untuk
menjalankan tugas besar mereka dengan semestinya, alih-alih hanya
dijadikan sebagai sebuah pelengkap semata yang kerap dilakukan oleh
film-film lokal dalam beberapa tahun belakangan ini. Pada akhirnya,
sekalipun tidak mampu menjadi sebuah film adaptasi yang luar biasa,
Hanung Bramantyo tetap berhasil menyuguhkan Perahu Kertas jilid awal ini sebagai sebuah film drama romantis remaja manis yang sudah sangat jarang kita temukan dalam perfilman Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar